Jumat, 02 Mei 2014

Kuatkan Kami

Buatku Ukhuwah ini amat indah, seindah cakrawala yang bersinar, bersamaan bersama-sama kalian disini. mengingatkanku pada haru biru  dalam perjuangannya, tidak dapat kuungkapkan dalam kata-kata lagi, bahwa ku amat merasakan manisnya cinta dalam ukhuwah ini diantara kita saudari saudaraku.


Namun jujur ketika satu diantara kita harus meninggalkan ataupun mundur secara perlahan cukup membuatku terpukul dan hancur. Tidak baik memang memiliki sikap seperti ini, namun tahukah kau saudari/aku...apalah artinya persaudaraan ini semua kawan, jika diantara kita tidak adanya rasa memilki, mendahulukan ego, ataupun bersikap keras dan tidak melihat betapa terseok-seok saudara-saudarimu yang lain  menanggung amanah itu?, padahal jika kita melangkah beriringan, berat sama dipikul, ringan sama di jinjing insyaalloh semuanya akan terasa amat ringan.

Robb...Andai saja saat ini aku boleh mengeluh padaMu, aku lelah bukan karena lelah berjuang akan tetapi lelah dengan kondisi mereka yang melemah dalam perjuangan ini, sehingga aura negatif itupun datang menghampiri jiwaku yang amat rapuh, menyusuf dengan cara yang halus. Namun amat memperdaya semangatku yang kubangun dengan susah payah.

Wahai mujahid- mujahiddah janganlah kau jadi penyebab lemahnya iman saudaramu dalam perjuangan ini, jadilah sosok yang bertahan meski harus mengorbankan darahmu hingga tetes penghabisan. Percayalah tidak ada yang sia-sia pada pandangan Allah, semua yang kita peroleh baik ujian maupun kesenangan itu pasti terdapat hikmah hidup yang baik, bagi orang-orang yang mau berfikir dan meminta petunjukNya.




Mainstreamming jiwa Ksatria

Mainstreamming jiwa Ksatria: Keindahan Hukum di Zaman Umar

Izinkan menceritakan tentang sebuah kisah
keagungan dan keindahan hukum. Agar
tetap terjaga harap dan sangka baik untuk
negeri ini. Umar sedang duduk beralas
surban di bebayang pohon kurma dekat
Masjid Nabawi. Sahabat di sekelilingnya
bersyura' (rapat) membahas aneka soal. Tiga orang
pemuda datang menghadap, dua
bersaudara berwajah marah yang mengapit
pemuda lusuh yang tertunduk dalam
belengguan mereka.

"Tegakkan keadilan untuk kami, hai Amirul
Mukminin," ujar seorang. "Qishashlah
pembunuh ayah kami sebagai had atas
kejahatannya!"

Umar bangkit. "Bertakwalah kepada Allah,"
serunya pada semua. "Benarkah engkau
membunuh ayah mereka wahai anak
muda?" selidiknya.

Pemuda itu menunduk sesal. "Benar wahai
Amirul Mukminin!" jawabnya ksatria.
"Ceritakanlah pada kami kejadiannya!" tukas
Umar.

"Aku datang dari pedalaman yang jauh,
kaumku memercayakan berbagai urusan
muamalah untuk kuselesaikan di kota ini,"
ungkapnya. "Saat sampai," lanjutnya,
"kutambatkan untaku di satu tunggul kurma
lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku
terkejut dan terpana. Tampak olehku
seorang lelaki tua sedang menyembelih
untaku di lahan kebunnya yang tampak
rusak terinjak tanamannya. Sungguh aku
sangat marah dan dengan murka kucabut
pedang hingga terbunuhlah si bapak itu.
Dialah rupanya ayah kedua saudaraku ini."

"Wahai Amirul Mukminin," ujar seorang
penggugat, "kau telah mendengar
pengakuannya dan kami bisa hadirkan
banyal saksi untuk itu."

"Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal
yang lain. Umar galau dan bimbang setelah
mendengar lebih jauh kisah pemuda
terdakwa itu. "Sesungguhnya yang kalian
tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya,"
ujar Umar, "dia membunuh ayah kalian
karena lhilad kemarahan sesaat."

"Izinkan aku," ujar Umar, "meminta kalian
berdua untuk memaafkannya dan akulah
yang akan membayarkan diyat atas
kematian ayahmu."

"Maaf Amirul Mukminin," sergah kedua
pemuda dengan mata masih menyala
merah, sedih dan marah,"kami sangat
menyayangi ayah kami. Bahkan harta
sepenuh bumi dikumpulkan untuk kami, hati
kami hanya ridha jika jiwa dibalas dengan
jiwa!"

Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa
yang dinilai amanah, jujur dan bertanggung
jawab tetap kehabisan akal yakinkan
penggugat.

"Wahai Amirul Mukminin," ujar pemuda
tergugat dengan anggun dan gagah,
"tegakan hukum Allah, aku ridha pada
ketentuan Allah," lanjutnya, "hanya saja
izinkan aku menunaikan semua amanah
dan kewajiban yang tertanggung ini."

"Urusan muamalah kaumku, berilah aku 3
hari untuk selesaikan semua. Aku berjanji
dengan nama Allah yang menetapkan
qishash dalam AlQuran, aku akan kembali 3
hari dari sekarang untuk menyerahkan
jiwaku."
"Mana bisa begitu!" teriak penggugat. "Nak,"
ujar Umar, "tak punyakah kau kerabat dan
kenalan yang bisa dilimpahi urusan ini?"

"Sayangnya tidak Amirul Mukminin.
Bagaimana pendapatmu jika kematianku
masih menanggung utang dan amanah
lain?"

"Baik," sahut Umar, "kau memberi tangguh 3
hari tapi harus ada seseorang yang
menjaminmu bahwa kau menepati janji
untuk kembali."

"Aku tidak memiliki seorang kerabat di sini.
Hanya Allah yang jadi penjaminku wahai
orang-orang yang beriman kepada-Nya,"
rajuknya.

"Harus ada orang yang menjaminnya!" ujar
penggugat, "andai pemuda ini ingkar janji,
siapa yang akan gantikan tempat untuk
diqishash?"

"Jadikan aku penjaminnya, hai Amirul
Mukminin!" sebuah suara berat dan
berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Itu
Salman Al-Farisi.

"Salman?" hardik Umar, "demi Allah engkau
belum mengenalnya! Jangan main-main
dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!"

"Pengenalanku kepadanya, tak beda dengan
pengenalanmu ya Umar," ujar Salman, "aku
percaya kepadanya sebagaimana engkau
memercayainya."

Dengan berat hati, Umar melepas pemuda
itu dan menerima penjaminan yang
dilakukan oleh Salman baginya. Tiga hari
berlalu. Detik-detik menjelang eksekusi
begitu menegangkan. Pemuda itu belum
muncul. Umar gelisah mondar mandir.
Penggugat mendecak kecewa. Semua
hadirin sangat mengkhawatirkan Salman.
Sahabat perantau negeri, pengembara
iman itu mulia dan tercinta di hati Rasul dan
sahabatnya.
Mentari nyaris terbenam. Hadirin sangat mengkhawatirkan Salman.
Sahabat perantau negeri, pengembara
iman itu mulia dan tercinta di hati Rasul dan
sahabatnya.
Mentari nyaris terbenam. Salman dengan
tenang dan tawakal melangkah siap ke
tempat qishash. Isak pilu tertahan.Tetapi
sesosok bayang berlari terengah dalam
temaram,terseok&nyaris merangkak.
"Itu dia!"pekik Umar..

Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh
dan nafas putus-putus ambruk di pangkuan
Umar.."Maafkan aku," ujarnya,"hampir
terlambat..
Urusan kaumku memakan
banyak waktu..
Kupacu tungganganku tanpa
henti hingga sekarat dan terpaksa kutinggal
lalu aku berlari.."

"Demi Alloh,"ujar Umar sambil
menenangkan dan meminumi,"bukankah
engkau bisa lari dari hukuman ini?
Mengapa
susah payah kembali?"

"Supaya jangan sampai ada yang
mengatakan,"ujar terdakwa dalam senyum,"di kalangan Muslimin tak ada lagi ksatria
tepat janji.."

"Lalu kau,hai Salman," ujar Umar berkaca -kaca,"mengapa mau jadi penjamin
seseorang yang tak kaukenal sama sekali!"

"Agar jangan sampai dikatakan,"jawab
Salman teguh,"di kalangan Muslimin tak
ada lagi saling percaya&menanggung
beban saudara.."

"Allahu Akbar!"
pekik dua pemuda
penggugat sambil memeluk terdakwanya,"Alloh&kaum Muslimin jadi saksi bahwa
kami memaafkannya.."

"Kalian memaafkannya?"
Umar makin haru,"jadi dia tidak diqishash? Allahu Akbar!
Mengapa?"

"Agar jangan ada yang merasa,"sahut
keduanya masih terisak, "di kalangan kaum
Muslimin tak ada lagi kemaafan&kasih
sayang.."

Ust.salim

#semoga kisah diatas bukan cuma catatan sejarah masa lalu, tapi akan terus berulang di setiap zaman. Aamiin.

Kamis, 01 Mei 2014

Kesabaran

Terbaring lemah selama 2 hari di rumah saja sudah membosankan, apalagi harus berlama-lama di rumah sakit. Ya ghofur banyak dosa yang telah hamba lakukan baik bagimu maupun terhadap diriku sendiri.

Nikmat sehat-Mu yang sering terlupakan, entah karena angkuhnya diri atau memang sifat khilafnya manusia yang lekat padaku, sehingga aku jarang menyadari akan arti nikmat sehat itu.

Sakit yang kurasa memang tidaklah seberapa sakit seperti yang mereka rasakan di luar sana, mereka merintih kesakitan menahan pedihnya penyakit yang Engkau berikan.

Masih bersyukur hamba padaMu ya Robb, Kau masih menyayangiku dengan caraMu yang lembut pula. Aku yang lemah lagi mudah mengeluh ini ya Robb ampunkanlah, hilangkan segala kelemahan diri, kemalasan diri, hilangkan segala macam penyakit hati yang bersemayam dalam diri, aku ingin aku kembali bersih ya Robb, biarkan sakit ini jika memang menjadi penggugur dosa dan pembersihan jiwa. Aku ridho ya Robb, sepenuhnya aku ridho asalkan setelah ini aku memiliki jiwa dan fisik yang lebih tangguh dan baik lagi untuk menjadi hamba-hamba pilihanMu.




KHUF (Mengusap) pada Muslimah/Muslim

Kaos kaki, bagi seorang muslimah, adalah sebuah kebutuhan. Dengan benda ini, mereka menutup kaki yang merupakan aurat. Dan merupakan hal yang ma’ruf bahwa definisi aurat adalah area yang tak boleh dilihat dan disentuh oleh non mahram.
Islam adalah agama yang mudah dan praktis. Ketika seorang muslimah berada dalam keadaan suci tak berhadats atau telah berwudhu dan mengenakan kaos kaki lalu berhadats maka saat berwudhu kembali seorang muslimah (termasuk muslim) diperbolehkan untuk tidak melepaskannya saat wudhu.
Tentang kebolehannya, tidak ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini dan ini memang disyariatkan berdasarkan nash al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma para ulama.[1]
Ibnul Mubarak mengungkapkan:
ليس في المسح على الخفين بين الصحابة اختلاف, هو جائز
“Dalam tema mengusap khuf, tidak ada perbedaan pendapat di antara para sahabat. Mengusap khuf diperbolehkan.”[2]
Imam Ahmad menuturkan:
ليس في نفسي من المسح شيء, فيه أربعون حديثا عن النبي
“Dalam pandangaku, tak ada masalah dalam mengusap (khuf). Ada 40 hadits dari NAbi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini.”[3]
Bagian Mana yang Harus Diusap?
Ini adalah tema penting yang mesti diketahui karena bagian inilah yang merupakan bagian aplikatif.
Sedikit mengetengahkan pendapat para ulama pada catatan ini, Ibnu Rusyd rahimahullah dalam kitabnya yang fenomental yaitu Bidayatul Mujtahid menyebutkan ikhtilaf ulama.
Pendapat Pertama:
Bagian yang wajib diusap adalah bagian atas khuf. Mengusap bawahnya adalah mustahab. Pendapat ini dipegang oleh Malik, as-Syafi’i dan yang lain.
Pendapat Kedua:
Bagian yang wajib diusap adalah bagian atas dan bawahnya sekaligus. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ibnu Nafi’ dan sahabat Malik.
Pendapat Ketiga
Bagian yang wajib diusapkan adalah bagian atas saja. Bagian bawah tidak diusap dan tidak pula disunnahkan.
Inilah pendapat yang dipegang oleh imam Abu Hanifah, Daud, Sufyan dan lain-lain.[4]
Para ulama menegaskan bahwa pendapat yang ketiga lebih mendekati dalil-dalil yang ada.
Sahabat al-Mughirah menuturkan:
رأيت رسول الله مسح على ظهر الخفين
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas Khuf.”[5]
Sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه لقد رايت رسول الله يمسح على ظاهر خفيه
“Sekiranya agama ini adalah dengan akal semata maka tentu bagian bawah khuf lah yang lebih utama untuk diusap disbanding bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas khufnya.”[6]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin mengungkapkan:
“Diantara petikan hadits di atas bahwa yang diusap adalah bagian atas khuf. . .”[7]

Bagaimana Cara Mengusapnya?
Tata cara mengusapnya tentu bukan dengan mencolek atau sebatas menempel/meletakkan tangan saja. Para ulama telah menjelaskan dengan sederhana. Begitu mudah.
Syaikh Shalih ibn Fauzan menjelaskan caranya:
1. Meletakkan telapak –sekaligus jari- yang telah dibasahi dengan air di atas jari-jari kaki.
2. Tangan kanan diletakkan di atas jemari kaki kanan. Tangan kiri diletakkan di atas kaki kiri.
3. Kedua tangan digerakkan atau disapukan hingga bagian atas yaitu punggung pergelangan kaki atau betis.
4. Pengusapan dilakukan sekali saja. Tak perlu diulang.[8]

Apakah Diusap Bersamaan atau Bergantian?
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin mengungkapkan bahwa sebagian ulama menyatakan usapan pada kaki kanan dan kiri dilakukan bersamaan. Sebagian yang lain menyatakan bahwa ini dilakukan bergantian. Usapan kaki kanan didahulukan sebelum kaki kiri. Beliau juga menyatakan bahwa permasalahan ini “waasi’un” artinya diberi kelapangan dalam memilih, tak terlalu dipermasalahkan.[9]

Kesimpulan:
1. Bagian khuf/sepatu/kaos kaki dan sejenisnya yang diusap adalah bagian atas saja.
Pendapat yang me-mustahab-kan bagian bawah adalah pendapat Malik dan as-Syafi’i. Pendapat ini lemah dan didasari sebuah hadits lemah dari sahabat al-Mughirah.
Beliau, al-Mughirah, mengisahkan:
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu kemudian mengusap bagian bawah khuf dan atasnya.”
Hadits ini adalah hadits lemah yang di-ilal-kan oleh Ahmad, al-Bukhariy, Daruquthniy dan Ibnu Hajar.[10]
2. Tata cara pengusapannya adalah seperti yang disebutkan Shalih ibn Fauzan di atas.
3. Pengusapan dilakukan sekali saja tanpa pengulangan.
4. Pengusapan bisa dilakukan bersamaan atau bergiliran dengan mendahulukan usapan kaki kanan.
_____
Referensi:

1. Kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Dar Ibn Hazm, Mesir
2. Fath Dzil Jalal wal Ikram, jilid 1, karya Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, al-Maktabah al-Islamiyyah, Mesir
3. kitab Mulakhkhas al-Fiq-hiyy karya syaikh Shalih ibn Fauzan, Dar A’lam as-Sunnah, Riyadh
4. kitab Shahih Fiqh as-Sunnah karya syaikh Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid Salim, al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Mesir.
____
End Notes:
[1] Lihat kitab Fath Dzil Jalal wal Ikram, hal 220, jilid 1.
[2] Al-Ausath I/434. Lihat kitab Mulakhkhas al-Fiq-hiyy, hal 28
[3] Al-I’lam Bifawa-id ‘Umdah al-Ahkam I/615. Lihat kitab Mulakhkhas al-Fiq-hiyy, hal 28
[4] Lihat kitab Bidayatul Mujtahid, hal 21.
[5] Hadits hasan diriwayatkan Abu Daud no. 161, Tirmidziy no. 98 dan yang lain.
[6] Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud no. 162, Daruquthniy no. 73 dan Baihaqiy 2/111. Lihat Irwa’ no. 103
[7] Lihat kitab Fath Dzil Jalal wal Ikram, hal 225, jilid 1.
[8] Lihat kitab Mulakhkhas al-Fiq-hiyy, hal 30.
[9] Lihat kitab Fath Dzil Jalal wal Ikram, hal 226, jilid 1.
[10] Lihat takhrij lengkap hadits ini pada catatan kaki nomor 1 dalam kitab Fath Dzil Jalal wal Ikram, hal 224, jilid 1
_______
Diselesaikan di waktu dhuha yang sejuk. Asrama Lipia Jakarta, 12 Maret 2014.
Penyusun: Fachriy Aboe Syazwiena