Bagaimana
caranya mengatasi kader yang terlanda kejenuhan dalam berdakwah,
dimana kader menjadi enggan aktif dalam aktifitas dakwah atau bahkan
tidak mengikuti pembinaan ?
Bertanya
tentang mengenai mengapa seorang kader bisa menjadi jenuh bisa
dihadapi hampir di seluruh kampus. Kejenuhan yang melanda ternyata
tidak pada hanya satu atau dua kader saja, tapi kejenuhan ini ibarat
penyakit yang mewabah. Penularan penyakit kejenuhan dalam dakwah
sangat cepat dikarenakan pola amal jama’i
kita yang terapkan pula di dakwah kampus.
Sehingga, kader relatif bergantung satu sama lain dalam hal aktifitas
dakwah.
Ketika
seorang kader sudah mempunyai sebuah alasan mengapa kejenuhan itu
dapat terjadi, maka ini akan menjadi alasan serupa untuk kader dakwah
yang lain. Karena kita membicarakan tentang penyakit dakwah, maka
kita perlu menyelesaikan problematika ini secara medis pula. Kita
mungkin sering mendengar semboyan mencegah
lebih baik daripada mengobati. Metode ini
pula yang akan kita terapkan untuk menyelesaikan problematika ini.
Saya akan
memulai pembahasan dari sebuah pertanyaan sederhana. Mengapa seorang
bisa jenuh dalam berdakwah ?. berbagai macam alasan sering saya temui
terhadap kader yang memutuskan untuk berhenti berdakwah, dimulai dari
akademis yang turun, urusan keluarga, tidak di izinkan orang tua,
kecewa pada jamaah dakwah di kampus, merasa diperkerjakan, tidak
merasakan indahnya ukhwah,
terlalu sibuk, dan sebagainya. Memang, jika melhat alasan tersebut,
kita akan berkata, “saya juga kuliah, saya juga kerja, saya juga
punya orang tua yang harus saya urus, tapi saya masih melakukan
aktifitas dakwah”.
Tapi Anda
perlu juga memahami bahwa memang alasan itu apa adanya, seseorang
jenuh dengan alasan yang telah dipaparkan,adalah bentuk dari perasaan
dia saat itu. Lalu mana kepahaman kader dakwah pada janji Allah yang
akan membalasa semua amal kita. Pada masa dakwah era terbuka,
kuantitas menjadi sebuah orientasi tersendiri dalam dakwah,
peningkatan jumlah atau kuantitas kader adalah poin penting dalam
parameter. Karena memang dakwah kita kini menjadi membutuhkan banyak
kader untuk memenuhi semua pos dakwah yang kian bertambah. Pada era
ini, banyak yang menilai bahwa kepahaman kader berkurang, ya, kita
memang harus menerima konsekuensi bahwa dengan bertambahnya jumlah
kader yang tidak diiringi daya rangkul ( isti’ab : fathi yakan )
akan berdampak pada penurunan kepahaman ini.
Oleh karena
itu, sebagai seorang kader inti, kita tidak bisa mengeneralisir semua
kader dalam kepahaman yang sama. Perlu kiranya kita juga membuat
levelisasi kader berdasarkan tingkat kepahaman, sebutlah :
Kader
inti
Kader
pendukung
Kader
simpatisan
Setiap
tingkatan ini akan mempunyai pola pendekatan yang lain dan tentunya
setiap klasifikasi kader ini juga mempunyai pandangan terhadap dakwah
berbeda-beda. Kembali ke mengapa seseorang bisa jenuh dalam
berdakwah. Biasanya seorang meninggalkan sesuatu dikarenakan ia
merasa tidak mendapat apa-apa dari
sesuatu yang ia kerjakan. Pada kondisi ini bisa kita diagnosa bahwa
mungkin memang dakwah
tidak memberikan apa-apa kepada
kader dakwahnya. Kejenuhan ini bisa jadi juga karena terjadi
kekecewaan pada diri mereka. Mereka merasa dikhianati oleh dakwah,
dimana ia semula berpikir dengan bergabung ke lembaga dakwah, ia akan
mendapat banyak ilmu agama, tetapi yang didapatinya hanya tanggung
jawab dan beban yang membuat nilainya turun.
Paradigma
yang salah tentang apa itu kader biasanya menjadi alasan utama subjek
kaderisasi gagal menata para kader dengan baik. Kader bukanlah
pekerja, tetapi kader adalah seorang yang akan dibina. Saya berani
bertaruh, hampir seluruh LDK ketika melakukan penerimaan mahasiswa
baru atau penerimaan anggota baru akan berpikir, ”berapa banyak
kader yang bisa beramanah di sini”, bukan “ berapa banyak kader
yang bisa aku bina dengan baik disini”.
Sehingga
basis tarbiyah yang
dilakukan oleh para pengkader adalah job-oriented
learning, atau pembinaan berbasis amanah yang
sebetulnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kader. Kader
pada mulanya bergabung dalam jamaah dakwah mengharapkan adanya
pembinaan pasif yang membuatnya bisa belajar terlebih dahulu, dan
tanggung jawab yang diberikan sebatas untuk magang
saja.
Kejenuhan
pun juga bisa disebabkan oleh kekecewaan, baik itu kekecewaan yang
disebabkan oleh problematika pribadi seperti masalah keluarga, IP
bermasalah, keadaan ekonomi, atau masalah konflik pecintaan, dan
kekecewaan terhadap problematika eksternal seperti lingkungan dakwah
yang tidak sesuai, pemimpin yang tidak bisa mengayomi, konflik
pendapat, atau merasa tidak dihargai.
Pada kondisi
ini terjadi keadaan dimana komunikasi dan menghargai tidak terjadi.
Perlu pembenahan yang menyeluruh untuk mengatasi penyakit ini. Jika
tidak segera diatasi maka akan cepat menular ke kader lain, dan jika
sudah akut maka akan
sulit lagi untuk menyelesaikannya. Karena, penyakit
ini bisa menjadi sebuah culture
tersendiri di sebuah lembaga.
Membangun
Komunikasi yang Sehat dalam Lembaga Dakwah
Dalam sebuah
kelompok yang terdiri dari berbagai individu dengan perbedaan program
studi, pola pikir, prioritas, dan tujuan hidup ada sebuah lingkage
yang harus terus ada, yakni komunikasi.
Komunikasi dalam bahasan ini tidak sebatas penyampaian pesan saja,
tapi komunikasi yang sifatnya lebih mendalam atau empatik. Bentuk
dari komunikasi dalam berkelompok dapat diterjemahkan dalam beberapa
poin, yaitu ; menghargai, keterbukaan, dan memahami. Ketiga poin ini
sekiranya perlu dipahami bersama dan dilaksanakan.
Seseorang
akan merasa nyaman bila ia merasa dihargai di dalam lingkungannya.
Ungkapan tolong, terima kasih, atau
semangat !!, bukanlah
sebuah ungkapan yang sekedar basa basi saja. akan tetapi bentuk
ungkapan ini adalah sebagai rasa untuk menghargai pekerjaan
seseorang. Anda mungkin pernah teringat ketika Anda diminta membantu
seorang Ibu yang akan menyebrang zebra cross,
teringatkah Anda ucapan terima kasih yang diberikan oleh ibu itu,
“makasih nak, semoga sukses”. Ini adalah bentuk ekspresi yang
sangat berasal dari hati, sebuah ekspresi yang ingin Ibu itu
ungkapkan untuk seorang pemuda yang telah sangat membantunya
menyebrangi zebra cross.
Coba sekali lagi Anda ingat bagaimana perasaan Anda saat Ibu itu
menyampaikan rasa terima kasihnya, tentu Anda akan merasa bak
pahlawan atau seorang yang baik dan telah berbuat sebuah kebaikan,
dan Anda termotivasi lagi untuk melakukan hal serupa, atau lebih baik
kedepannya. Begitu pula yang akan dirasakan oleh kader kita ketika
kita sebagai pemimpin atau mungkin rekan kerja memberikan
penghaargaan kepadanya.
Keterbukaan
adalah impact dari
kepercayaan. Keterbukaan pula yang memicu adanya rasa nyaman dalam
berkelompok , dan keterbukaan pula yang membuat seseorang bisa cepat
menyampaikan perasaan atau isi hati atas ketidaknyamanan yang
terjadi. Dalam membangun keluarga, orangtua saya sering menyampaikan
hal ini, beliau mengatakan bahwa dalam berkeluarga, keterbukaan
menjadi sangat penting, kalau ada masalah jangan disembunyikan,
apalagi dibicarakan dibelakang, segeralah disampaikan agar bisa
diselesaikan secepatnya, daripada menjadi berkepanjangan masalahnya.
Dan biasanya dalam keterbukaan itu juga akan terbentuk kepercayaan
antar anggota keluarga dan akan berdampak pada keharmonisan
keberjalanan keluarga. Dalam keluarga dakwah ( baca : kelompok/jamaah
dakwah ), perlu dibangun kondisi ini untuk membuat kader bisa merasa
dalam “keluarga” ketika beraktifitas.
Memahami
kebutuhan dan keinginan kader untuk merangkai sebuah simbiosis
mutualisme antara kader dan dakwah. Terkadang
sering ada paradigma sinekdoke pars prototo,
bahwa ketika seorang pemimpin tidak memahami seorang kader maka itu
artinya jamaah dakwah juga tidak memahami dirinya. Memahami adalah
sebuah proses untuk mengetahui apa yang menjadi landasan dan pola
dalam berpikir. Pada dakwah kampus yang memiliki banyak tantangan,
maka kebutuhan untuk memahami datu sama lain akan menunjang
aktifitasnya. Seorang peserta rapat diharapkan dapat memahami
bagaimana pola pikir pemimpin rapat, bukan untuk selalu memahaminya,
akan tetapi agar tepat dalam menyampaikan pendapat. Seorang pemimpin
rapat juga diharapkan dapat memahami keinginan atau aspirasi dari
peserta rapat agar tidak semena-mena dalam mengambil keputusan.
Ketika proses komunikasi ini dapat berjalan dengan baik, maka kader
akan merasa nyaman dalam menjalankan aktifitas dakwah, nyaman
terhadap sesama kader dan nyaman dengan lingkungan dakwah, sehingga
dapat mencegah kejenuhan kader.
Memberi
Tanggung Jawab Sesuai dengan Proporsi Kader
Setiap kader
memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, atau bisa dikatakan
bahwa kader mempunyai kapasitas yang berbeda dengan segala
kekhasannya. Setiap kapasitas ini memiliki keterbatasan yang sangat
bervariatif. Setiap orang mempunyai kelemahan di bagian tertentu dan
tentu memiliki value
yang ia jadikan sebagai landasan dalam menentukan sesuatu. Bisa jadi
seorang kader yang mempunyai tanggung jawab akademik yang besar
sehingga ketika IP nya turun 0,1 saja ia akan langsung desperate
dan menjadi alasan untuk jenuh dalam dakwah.
Ada juga seorang yang sangat tidak peduli pada IP, sehingga walau IP
nya hanya 2,00 saja ia sudah cukup tenang dan tidak begitu khawatir.
Setiap kader
juga memiliki spesifikasi keahlian tertentu. Ada seorang kader yang
senang rapat, ada seorang kader yang hanya senang kerja teknis, ada
seorang kader yang senang tampil di depan umum, ada kader yang ahli
mengkonsep agenda dakwah,atau ada seorang kader yang senang mencari
uang. Spesifikasi ini sering diabaikan begitu saja oleh pengelola
dakwah, masih banyak pandangan bahwa seorang kader harus
multi-talent, saya
memang sepakat bahwa seorang kader harus punya banyak keahlian, akan
tetapi jangan sampai mematikan keahlian utama, biarkan keahlian lain
hanya sebagai pendukung saja.
Sebagai
seorang pengelola dakwah atau dalam hal ini pemimpin perlu mengetahui
kondisi kader dengan baik, atau departemen kaderisasi melakukan
pendataan dengan baik. Adanya pemahaman akan kondisi kader ini
membuat Anda sebagai seorang pengdistribusi amanah dapat memposisikan
kader dengan baik. Acapkali saya temui, seorang kader tidak merasa
cocok dengan apa yang diamanahkan kepadanya. Hal ini membuat kader
berpikir yang penting tugas saya selesai.
Pandangan ini membuat matinya kreatifitas dan
inovasi kader dalam menjalankan amanah, dan yang paling di
khawatirkan adalah, membuat kader jenuh dalam menjalankan tugasnya,
sehingga bisa membuat ia berpikir untuk berhenti berdakwah setelah
sebuah agenda yang dilakukan.
Dengan
pemberian tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan porsi yang
tepat, efesiensi dan produktifitas kerja akan terbentuk. Anda juga
perlu memperhatikan kemampuan manajemen waktu dari kader dan korelasi
tanggung jawab terhadap nilai kuliah. Pada kondisi ini akan diuji
tentunya kemampuan kepemimpinan seorang pemimpin, jangan sampai Anda
menyalahkan kader atas kegagalan eksekusi dakwah, akan tetapi cobalah
mengevaluasi atas kebijakan yang Anda lakukan dalam mendistribusi
porsi tanggung jawab.
Adanya
Keseimbangan Antara Pembinaan dan Tanggung Jawab
Ketika saya
melihat formulir pendaftaran kader angkatan 2007 ketika applied
untuk bergabung dalam GAMAIS, saya melihat
hampir 80 % dari kader yang menuliskan harapan ketika bergabung
dengan GAMAIS adalah mendapat pembinaan
keIslaman, menambah wawasan Islam, mendapat lingkungan Islami, dan
sejenisnya. Dimana bisa diambil benang merah,
tujuan utama seorang kader bergabung adalah mendapatkan pembinaan.
Pembinaan
yang bisa membuat ia lebih baik, lebih memahami Islam, dan lebih
menjadi muslim yang Rabbani
. Dan sebagai sebuah lembaga dakwah yang amanah
maka kita perlu untuk mewujudkan kebutuhan
kader ini dengan memberikan porsi pembinaan yang sesuai dengan
kebutuhan. Memang sebagai lembaga dakwah yang dinamis, diperlukan
juga kader yang bergerak untuk memutar roda dakwah, sehingga kita
memandang bahwa kader adalah aset yang sangat berharga.
Akan tetapi,
sebagai seorang pengelola dakwah, Anda juga perlu memperhatikan
keseimbangan tanggung jawab yang diberikan kepada kader dengan jumlah
pembinaan yang dilakukan. Bagaimana kita mengukur keseimbangan itu ?
ada beberapa pendekatan, pertama pendekatan output,
dimana seorang kader merasa seimbang ketika setelah sebuah agenda
dakwah, ia justru bersemangat untuk beramal lebih banyak. Kedua
pendekatan waktu, sebutlah seorang kader harus menjalankan tanggung
jawab dakwah ( rapat dan teknis ) selama X jam per pekan, maka
minimal pembinaan yang ia dapati adalah ½ X jam per pekan. Pembinaan
yang dilakukan tidak hanya dalam bentuk pembinaan yang bersifat pasif
saja, akan tetapi juga termasuk auto tarbiyah
yang dilakukan secara pribadi.
Keseimbangan
ini membuat kader akan merasa ter-charge
secara cukup, dan mendapatkan apa yang
menjadi tujuan mula bergabung dalam lembaga dakwah ini. Sehingga,
kader akan berkontribusi setelah mendapatkan asupan ilmu yang cukup.
Sebetulnya, pembinaan yang dilakukan adalah bentuk dari pemberian
katalis atau NOS bagi
kader, dan ketika ia usai menjalankan sebuah pembinaan, ia akan siap
untuk beramal dalam medan dakwah.
Pemahaman
Urgensi Dakwah dan Pembinaan Secara Rutin
Banyak yang
mengatakan bahwa kader saat ini mengalami apa yang disebut
dis-orientasi dakwah. Seorang kader saat ini banyak yang mempunyai
misi pribadi dalam menjalankan amanah dakwah ketimbang misi jamaah
dakwah yang ada. Kader mulai mempunyai harapan ketika bergabung dalam
sebuah lembaga dakwah, maka ia akan mendapatkan posisi tertentu, atau
keuntungan lain, apakah mendapatkan pasangan hidup yang sesuai atau
lainnya.
Dis-orientasi
dakwah saya kira mulai merebak di kalangan kader pendukung. Hal ini
terjadi karena kurangnya pemahaman yang ia miliki atas sebuah
pertanyaan, kenapa saya harus berdakwah ?.
pemahaman akan jawaban pertanyaan ini perlu ditekankan sejak dini,
agar kader tetap pada koridor dakwah yang tepat dan terarah, kader
tetap pada Allah-oriented dalam menjalankan amal ini. Pemahaman ini
bisa mereduksi kekecewaan yang mungkin terjadi, atas segala
permasalahan yang terjadi dalam keberlangsungan dakwah, kader akan
mengembalikannya ke Allah dan kepada hikmah yang bisa diambil atas
sebuah kejadian.
Memang
penurunan kualitas terasa ketika kita gagal memantau lingkungan
kader. Sepaham saya, buku novel Islami dan lagu Islami dibuat untuk
merangkul massa umum dan massa mengambang, akan tetapi saat ini,
kader pun menikmati, atau bahkan lebih menikmati novel Islami atau
cerita Islami yang ringan ketimbang membaca buku dari ulama terdahulu
atau masa kini, kader bahkan lebih hafal lagu Islami ketimbang Ayat
Al Qur’an.
Sebagai
seorang pemimpin, Anda perlu memantau hal ini, perlu kiranya
transformasi bertahap akan kebiasaan dan kebutuhan kader ini, dengan
itu, kader akan merasa bahwa apapun yang terjadi dalam lika liku
dakwah hanya karena atas Izin Allah.
Sumber: http://ridwansyahyusufachmad.com/analisis-instant-problematika-dakwah-kampus/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Isilah komentar dengan bahasa yang santun dan membangun!